article 2024-04-25 Astro Kit 8 min read

Bagaimana AI Mengubah Wajah Dunia Kerja: Perspektif CEO LinkedIn

Kemajuan kecerdasan buatan menggeser lanskap pekerjaan secara drastis. CEO LinkedIn, Ryan Roslansky, memberikan pandangan mendalam tentang pergeseran besar ini dan bagaimana pekerja bisa beradaptasi.

Bagaimana AI Mengubah Wajah Dunia Kerja: Perspektif CEO LinkedIn

Dalam beberapa tahun terakhir, kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) telah bergerak lebih cepat dari yang diprediksi para analis. Bukan hanya merubah cara perusahaan menyusun strategi, AI juga merevolusi bagaimana pekerjaan dilakukan di hampir semua sektor industri. Dan di tengah semua transformasi ini, LinkedIn sebagai jaringan profesional terbesar di dunia memainkan peran kunci sebagai barometer perubahan.

Ryan Roslansky, CEO LinkedIn, dalam wawancaranya dengan media ekonomi terkemuka minggu lalu, menyampaikan bahwa AI bukan hanya menghapus pekerjaan lama, tetapi juga menciptakan peluang baru yang belum pernah ada sebelumnya. “Yang kita lihat sekarang adalah perubahan signifikan dalam ‘skill set’ dan bukan sekadar penghapusan pekerjaan,” ujarnya.

Perubahan Dinamis dalam Kebutuhan Skill

Data internal LinkedIn menunjukkan bahwa sekitar 25 persen skill yang dibutuhkan di tempat kerja telah berubah sejak 2015. Angka ini diproyeksikan meningkat menjadi 65 persen pada tahun 2030. Transformasi ini tak lepas dari perkembangan teknologi, termasuk kemajuan pesat dalam generative AI, seperti ChatGPT dan teknologi sejenis yang semakin banyak digunakan di berbagai sektor.

“Kalau dulu orang hanya butuh tahu Microsoft Excel untuk bekerja di finance, sekarang mereka dituntut mampu menggunakan alat AI untuk menganalisis dan mempresentasikan data,” kata Roslansky. Di bidang kreatif, desainer kini ditantang memadukan kreativitas dengan tools AI untuk menghasilkan karya visual yang efisien dan kompleks.

Fenomena ini berdampak langsung pada HR (Human Resources) dan rekrutmen. Perusahaan kini tak hanya mencari kandidat yang sesuai dengan deskripsi pekerjaan klasik, tetapi juga yang memiliki kapasitas belajar keterampilan baru dengan cepat. Di sinilah pentingnya apa yang disebut sebagai ‘learning agility’.

Fresh Graduate & Pekerja Senior: Siapa yang Lebih Siap?

Perubahan besar ini menimbulkan tantangan tersendiri bagi dua kelompok utama di dunia kerja: lulusan baru dan pekerja berpengalaman. Para fresh graduate, meskipun lebih akrab dengan teknologi, seringkali kekurangan pengalaman praktis dan konteks bisnis. Sementara pekerja lama menghadapi tantangan beradaptasi dengan teknologi yang tidak mereka pelajari di awal karier.

Namun, LinkedIn melihat tren menarik. Banyak profesional berusia di atas 40 tahun yang kembali belajar, mengikuti kursus singkat di bidang data analysis, prompt engineering, dan bahkan membangun portofolio AI project melalui platform open course seperti Coursera dan Udemy.

“Adaptasi bukan soal usia, tapi niat dan mindset,” jelas Roslansky. Ia menambahkan bahwa perusahaan yang ingin bertahan dalam perubahan ini harus menciptakan budaya belajar berkelanjutan alias continuous learning di seluruh level organisasi.

Tenaga Kerja Global: Ketimpangan dan Peluang

Walaupun AI membuka banyak peluang, transformasi ini juga membuka jurang ketimpangan baru antara tenaga kerja yang memiliki akses terhadap pelatihan digital dan yang tidak. Negara-negara maju lebih siap dengan infrastruktur pelatihan dan ekosistem teknologi yang mendukung. Di sisi lain, banyak tenaga kerja di negara berkembang yang masih belum memiliki kompetensi digital dasar.

Di Asia Tenggara, termasuk , kebutuhan pelatihan digital menjadi perhatian utama. Data Bank Dunia tahun 2023 menyebutkan bahwa hanya 34 persen pekerja di Asia Tenggara yang memiliki literasi digital secukupnya untuk mengikuti transformasi ekonomi digital jangka panjang.

Untuk menjembatani hal ini, LinkedIn bekerja sama dengan berbagai lembaga pendidikan dan pemerintah, termasuk Kementerian Ketenagakerjaan , guna menyediakan modul pelatihan gratis di bidang data science, AI dasar, dan pemrograman.

AI Bukan Penghancur, Tapi Perlu Dijalani dengan Kewaspadaan

Kekhawatiran bahwa AI akan sepenuhnya menggantikan manusia memang cukup beralasan, terutama dalam pekerjaan yang sifatnya repetitif dan administratif. Namun Roslansky menjelaskan bahwa dalam banyak kasus, AI justru berfungsi sebagai co-pilot, bukan pilot. Dengan kata lain, teknologi membantu—bukan mengambil alih—keputusan dan pekerjaan manusia.

“Yang paling penting bukan sekadar bisa pakai teknologi, tapi tahu bagaimana menggunakannya dengan etis dan bertanggung jawab,” tegasnya. Ia menyebutkan bahwa LinkedIn, bersama induk perusahaannya Microsoft, sedang memperkuat sistem pengamanan dan kebijakan etika penggunaan AI, terutama dalam seleksi dan evaluasi kandidat di proses rekrutmen.

Perusahaan Juga Harus Berevolusi

Bukan hanya pekerja yang harus berubah. Perusahaan juga perlu melakukan pergeseran paradigma manajemen talent. Menurut Roslansky, organisasi masa depan harus merancang ulang proses HR dan pembelajaran karyawan agar lebih adaptif terhadap kebutuhan skill yang terus berkembang.

Beberapa perusahaan besar seperti Accenture dan IBM telah mengalokasikan anggaran pelatihan internal hingga 1 miliar dolar untuk membekali karyawan mereka dengan kompetensi AI dan data. Di , startup seperti Ruangguru dan Gojek mulai menawarkan pelatihan AI internal sebagai bagian dari program pengembangan karyawan.

Kurikulum universitas pun mulai berubah. Fakultas-fakultas ilmu sosial hingga manajemen kini menyisipkan materi AI dan analitik data di mata kuliah wajib. Hal ini menandakan pergeseran serius ke arah integrasi teknologi dalam pemikiran strategis di semua bidang.

Masa Depan Tenaga Kerja: Bauran Human-Teknologi

Jika ditarik ke depan, masa depan dunia kerja bukan soal menggantikan manusia dengan mesin, tetapi bagaimana menyatu dalam ekosistem kerja yang lebih simbiosis. Roslansky menyebut bahwa pekerjaan masa depan akan berbasis pada sinergi antara empati manusia dan efisiensi teknologi.

“AI bisa membantu menganalisis data dengan cepat, tapi empati, kreatifitas, dan intuisi tetap melekat pada manusia. Di situ kekuatan kolaborasinya,” jelasnya. Maka pekerja yang paling sukses ke depan bukanlah yang ‘paling pintar’, tetapi yang paling adaptif dan kolaboratif dalam lingkungan yang berbasis teknologi.

Dalam waktu yang belum terlalu jauh, pasar kerja global bisa berubah menjadi arena di mana kecepatan belajar lebih penting daripada latar belakang formal. Perusahaan pun akan lebih melihat portofolio skill dinamis ketimbang gelar akademik semata.

Yang kini dibutuhkan adalah kesadaran bahwa AI bukan sekadar alat bantu kerja, tapi sudah menjadi bagian dari pola pikir baru dalam bekerja. Dan seperti halnya perubahan besar lainnya dalam sejarah industri, hanya mereka yang siap bertransformasi yang akan tetap relevan.

A
Astro Kit

Content Creator & AI Enthusiast

Suka artikel ini? Subscribe untuk update terbaru!

Dapatkan insight AI dan tips bisnis langsung ke inbox Anda setiap minggu.

Join 1,000+ solopreneurs getting weekly AI insights. No spam, unsubscribe anytime.